Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya, fraktur
terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
Menurut Hidayat (2005) fraktur atau
patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau patah
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya benturan pada lengan bawah
yang dapat menyebabkan patah tulang. Sedangkan pada trauma tidak langsung
misalnya jatuh pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal
patah. Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang diabsorbsinya. Fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan disekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot
dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan
oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2002).
A.
Etiologi
Penyebab fraktur
menurut Suratun,dkk (2008) meliputi pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
pintir mendadak, kontraksi otot ekstrem. Fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari pada yang diabsorbsinya. Fraktur pada tulang dapat
yang menyebabkan edema jaringan lemak, persarafan ke otot dan sendi terganggu,
dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Disamping
itu proses penuaan pun bisa mengakibatkan osteoporosis hingga menyebabkan
fraktur.
B.
Anatomi
Fisiologi
Semua bagian
tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu pula dengan rangka
tubuh. Kekuatan tulang berasal dari dua sumber yaitu bagian luar yang padat
(korteks) yang beratnya 80% dari massa
tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons yang disebut trabekular
(20% dari massa tulang) dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang
(osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblast (pembentuk)
(Gomez, 2006 & Roesma, 2006).
Siklus resorbsi dan pembentukan
tulang terjadi sepanjang hidup, pada masa kanak-kanak pembentukan tulang lebih
banyak daripada daripada proses resorbsi tulang, namun keadaan ini menurun
secara bertahap selama masa dewasa muda dan pada usia 25-35 tahun kedua proses
ini berada dalam keseimbangan sampai akhirnya proses resorbsi lebih banyak
daripada pembentukan tulang yang
biasanya dimulai pada usia 35 tahun sehingga secara bertahap jaringan
tulang akan menghilang bersamaan dengan kandungan mineralnya (kalsium)
terutama pada bagian trabekular (Gomez,
2006).
1.1 Perbedaan tulang dan tulang
yang sudah mengalami pengeroposan.
Pada wanita menopause tingkat
estrogen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan
jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan
tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika estrogen turun, tingkat
resorbsi tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan
berkurangnya massa tulang (Lane, 2001). Osteoporosis inilah yang seringkali
mengakibatkan fraktur pada lansia.
1.2 Contoh
fraktur yang diakibatkan oleh osteoporosis
C.
Patofisiologi
Patofisiologi fraktur menurut Price
& Wilson. (2005). fraktur
dimulai dengan adanya daya atau tekanan pada tulang menyebabkan terjadinya fraktur. Adanya fraktur dapat merusak jaringan lunak, pembuluh darah, serabut saraf
dan sum-sum tulang, periotium dan kortek tulang. Pada kerusakkan jaringan lunak
dapat terjadi luka, menyebabkan port de
entry yang akan terjadi infeksi dan non infeksi, pada infeksi bisa terjadi delayed union dan malunion, pada non infeksi terjadi union. Pada kerusakkan pembuluh darah dapat terjadi perdarahan dan
akan mengakibatkan hematoma dan hipovolemik.
Tempat yang mengalami hematoma terjadi vasodilatasi eksudasi plasma migrasi
leukosit yang akan menyebabkan inflamasi, bengkak, terjadi penekanan saraf dan
timbul nyeri. Pada hipovolemik dapat
terjadi hipotensi akan menyebabkan suplay darah ke otak menurun, kesadaran
menurun dan dapat terjadi syok hipovolemik.
Pada kerusakan serabut saraf dan sum-sum tulang dapat menyebabkan hilangnya
sensasi dan terjadi anesthesia, dapat juga merusak reseptor nyeri dan terjadi
nyeri. Pada kerusakkan periostium dan kortek tulang dapat terjadi deformitas,
krepitasi dan pemendekan ekstremitas.
A.
Jenis-Jenis
Fraktur
Jenis-jenis fraktur menurut
Mansjoer, (2002)
1.
Menurut jumlah garis fraktur
a. Simpel
fraktur: hanya terdapat satu garis fraktur
b. Multipel
fraktur: terdapat lebih dari satu garis
c. Comminute
fraetre: terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen kecil yang terlepas.
2.
Menurut garis fraktur
a. Fraktur
inkomplit: tulang terpotong tidak secara total
b. Fraktur
komplit: tulang terpotong secara total
c. Hait
line fraktur: garis fraktur hampit tak Nampak sehingga bentuk tulang tak ada
perubahan.
3.
Menurut bentuk fragmen
a. Fraktur
tranfersal: bentuk fragmen melintang
b. Fraktur
oblik: bentuk fragmen miring
c. Fraktur
spiral: bentuk fragmen melintang
4.
Menurut hubungan antara fragmen dengan
dunia luar
a. Fraktur
terbuka
Fraktur terbuka terbagi menjadi 3
tingkat
1) Pecahan
tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi kurang, luka
<1 cm.
2) Kerusakan
jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka <1 cm
3) Luka
besar sampai lebih kurang 8 cm kehancuran otot kerusakan neurovaskuler,
kontaminasi besar missal luka tembak.
b. Fraktur
tertutup
Fragmen tulang tidak terhubung
dengan dunia luar.
B.
Tahap
Proses Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan tulang terbagi
menjadi beberapa tahap, dibawah ini akan dijelaskan beberapa tahap proses
penyembuhan tulang menurut Reksoprodjo, (2002).
1.
Haematoma
Dalam waktu 24 jam mulai pembekuan darah
dan terjadi haematom disekitar fraktur. Setelah 34 jam suplai darah ke ujung
fraktur meningkat, haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi
selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granul.
2.
Proliferasi
Sel-sel dari lapisan dalam periosteum
berproliferasi pada sekitar fraktur, dimana sel-sel menjadi precursor dari osteoblas, osteogenesis
ini berlangsung dengan fase granulasi membentuk collar du ujung fraktur.
3.
Pembentukan kalus
6-10 hari setelah fraktur jaringan
granulasi berubah dan membentuk kalus. Sementara pembentukan cartilage dan matrik tulang diawali dari
jaringan kalus yang lunak, kalus ini bertambah banyak, kalus sementara meluas,
mengancam masa tulang dan cartilage
sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal ini melindungi fragmen tulang
tapi tidak memberikan kekuatan kalus sementara ini meluas melebihi garis
fraktur.
4.
Ossifikasi
Kalus yang menetap menjadikan tulang
kaku karena adanya penumpukan garam-garam kalsium dan bersatu bersama
ujung-ujung tulang. Proses osifikasi ini mulai dari kalus bagian luar kemudian
bagian dalam dan terakhir bagian tengah, proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5.
Konsolidasi dan remodeling
Pada waktu yang sama pembentukan tulang
yang sebenarnya kalus dibentuk dari aktifitas osteoblast dan osteoklast.
Kelebihan-kelebihan tulang seperti dipahat. Proses pembentukan lagi ditentukan
oleh beban tekanan dari otot.
C.
Tanda
Dan Gejala
Menurut Smelzet &
Bare, (2002) tanda dan gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitasi.
1.
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya
sampai fragmen tulang diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2.
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian
tidak dapat digunakan dan cendrung bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap
rigit seperti normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3.
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan
tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5
sampai 5 cm (1-2 inci).
4.
Saat ekstremitas diperiksa dengan
tangan, teraba adanya derik tulang dimanakan krepitus yang teraba akibat gesekan
antar fragmen satu dengan yang lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal
pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
D.
Komplikasi
Komplikasi menurut Reksiprodjo,
(2002)
1.
Komplikasi dini
Lokal:
Vaskuler:
a.
Compartement
syndrome (Volkmann’s ischemia), yaitu suatu sindrom
yang terjadi karena beberapa hal, bisa disebabkan oleh fraktur, dimana terjadi
peningkatan tekanan intrakompartement sehingga terjadi iskemia jaringan.
Peningkatan ini disebabkan oleh terisinya cairan kedalam kompartement dan tidak
diikuti oleh pertambahan luas/ volume kompartement itu sendiri. Cairan tersebut
berupa darah atau edema yang disebabkan oleh fraktur.
Dengan meningkatnya
tekanan intrakompartement yang melampaui tekanan perfusi kapiler akan
menyebabkan aliran darah yang seyogyanya mensuplai oksigen dan nutrisi
kejaringan menjadi tidak adekuat. Hal ini akan memicu terjadinya iskemia
jaringan, yang menyebabkan edema sehingga tekanan intrakompartement tersebut
akan semakin meningkat. Bila hal ini tidak segera diatasi akan menimbulkan
kematian jaringan dan nekrosis, yang pada akhirnya dapat mengancam jiwa.
b.
Cidera vaskuler, merupakan
konsekuensi berbahaya dari fraktur yang dapat mengancam jaringan dan nyawa.
Pembuluh darah dapat mengalami cedera dimana saja, namun ada tempat-tempat
tertentu yang sangat rentan terhadap cedera vascular.
Di ekstremitas atas, bagian aksila,
lengan atas anteriol dan medial serta fossa antecubital adalah daerah yang
beresiko tinggi, sedangkan di ekstremitas bawah, daerah inguinal, paha medial
dan fossa poplitea adalah daerah yang beresiko tinggi jika mengalami cedera
vaskuler. Pada daerah-daerah tersebut, hanya terdapat satu arteri tunggal yang
berjalan sepanjang daerah tertentu sebelum bercabang (fucation) didaerah yang lebih distal.
Arteri tunggal ini nantinya akan
bercabang menjadi dua di ekstremitas atas (brakialis bercabang menjadi radialis
dan ulnaris setelah fossa cubiti) dan
tiga diekstremitas bawah (femoralis akan bercabang menjadi tibia anterior,
tibia posterior, dan fibular/ peroneal setelah fossa popliteal). Dengan demikian, apabila terjadi cedera vaskular
pada arteri tunggal ini menyebabkan iskemia yang luas pada jaringan yang lebih
distal.
Hal ini akan berbeda jika cedera
vaskular terjadi di daerah yang lebih distal setelah percabangan, dimana risiko
iskemia jaringan tidak seluas yang ditimbulkan oleh cedera arteri tunggal.
Menurut Braten Et Al (2004) mengemukakan bahwa penanganan cedera vaskular
paling baik dalam jangka waktu 6 jam setelah terjadinya fraktur. Penanganan
tersebut meliputi imobilisasi ekstremitas, penekanan (namun tidak menggunakan
torniket), serta tindakan operatif. Setelah itu disarankan untuk dilakukan
fasciotomi demi mencegah terjadinya sindroma kompartemen.
c.
Osteonekrosis (nekrosis avaskuler)
Keadaan yang terjadi dimana tulang
kehilangan suplai darah untuk waktu yang lama/ permanen. Tanpa suplai darah,
jaringan tulang akan mati dan menjadi nekrotik. Osteonekrosis paling sering terjadi ditulang panggul, terutama pada
dislokasi panggul posterior disertai fraktur kepala femur. Koval Et Al,(2003)
mengemukakan bahwa sepuluh persen pasien dislokasi panggul anterior mengalami osteonekrosis.
d.
Cidera saraf perifer
Komplikasi lain dari fraktur. Saraf yang
rentan mengalami cedera adalah saraf yang letaknya di dekat tulang/ fascia.
Berdasarkan struktur, fungsi, dan regenerasinya, cedera saraf dapat dibagi
menjadi beberapa golongan:
1) Neurapraxia, yaitu kehilangan fungsi dari sel
saraf namun tidak disertai oleh kelainan struktur.
2) Axonotmesis, yaitu kehilangan fungsi dari sel
saraf dan disertai oleh cedera akson, namun struktur inti beserta selubung dan
sel sachwan masih utuh. Pada cedera
ini, regenerasi aksonal dapat mengembalikan fungsi yang hilang.
3) Neurotmesis, yaitu cedera saraf yang lebih
berat dari neurapraxia dan axonometsis. Pada neurotmesis, terjadi kehilangn fungsi disertai cedera aksonal,
selubung myelin dan jaringan konektif sehingga penyembuhan menghasilkan
jaringan parut yang menghambat regenerasi akson.
E.
Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Laboratorium
Hemoglobin,
Hematokrit, Laju Endap daeah (LED)
2.
Radiologi
Pemeriksaan
menggunakan X-Ray dapat dilihat
gambaran.
a. Melihat
beratnya cedera lokasi
b. Untuk
melihat perkembangan tulang
3. CT scan
a. Prosedur
yang digunakan untuk melihat gambaran otak dari berbagai sudut kecil tulang dan
tengkorak
b. Mendeteksi
struktur fraktur tang kompleks
4.
Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
a.
Untuk melihat gambaran otak melalui
informasi hydrogen proton dengan menggunakan ruang magnetic yang besar sehingga
gambaran pembekuan darah, saraf, dan otak lebih jelas.
b.
Mengidentifikasi masalah pada otot,
tendon, dan ligamnen.
F.
Penatalaksanaan
Kesembuhan fraktur dapat dibantu oleh
aliran darah yang baik dan stabilitas ujung patahan tulang, Reksoprodjo (2002).
1.
Reposisi
Setiap
pergeseran atau angulasi pada ujung patahan harus direposisi dengan hati-hati
melalui tindakan manipulasi yang biasanya dilakukan dengan anesthesia umum.
2.
Immobilisasi
Immobilisasi
untuk kemungkinan kesembuhan fragmen yang dipersatukan.
3.
Fiksasi eksternal
4.
Fraktur diimobilisasi dengan badai atau
gips dan traksi
G.
Penggunaan
Gips Dan Traksi
1.
Penggunaan gips
Secara umum, gips digunakan untuk
mempertahankan reduksi, namun harus melewati sendi di atas dan di bawah
fraktur. Gips sebaiknya tidak berlaminasi dan sesuai dengan geometri tulang
yang diberi gips tersebut. Dengan membalut plester yang lunak di atas tonjolan
tulang biasanya dapat mencegah timbulnya ulserasi tekanan dan dapat
memaksimalkan kemampuan gips tersebut untuk mempertahankan posisi fragmen
fraktur. Pemasangan gips seringkali dapat diselesaikan dalam jam sesudah
terjadi cidera. Yaitu saat pembengkakan jaringan lunak belum maksimal. Selain
itu proses reduksi juga dapat memperberat edema jaringan yang sudah ada.
Namun karena gips dipasang berbentuk
melingkar, mengelilingi seluruh ekstremitas, maka suplai darah ke syaraf ke
ekstremitas yang cidera harus benar-bear diperhatikan. Ekstremitas harus
diletakan lebih tinggi bagian distal ekstremitas yang mengalami cidera harus
diperiksa berulang-ulang guna mengawasi perkembangan nyeri, kepucatan parestesi
dan lenyapnya denyut nadi, semua ini adalah tanda-tanda dari disfungsi
neurovaskuler.
Semua keluhan penderita yang tetap
dirasakan setelah reduksi harus benar-benar mendapat perhatian. Tekanan suplai
darah dapat menimbulkan perubahan patologik yang tidak reversible bila
dibiarkan selama satu setengah jam. Pada beberapa jam pertama setelah terjadi
cidera, pemberian obat-obat narkotik secara berulan-ulang adalah suatu
kontraindikasi. Hal ini dapat menghilangkan nyeri yang timbul dari nekrosis
jaringan.
2.
Tujuan penggunaan gips adalah:
a. Mengimmobilisasi,
mensuport, melindungi selama proses penyembuhan tulang patah.
b. Mencegah
dan memperbaiki deformitas.
3.
Indikasi pemasangan gips
Macam-macam gips: short leg, long leg, sillinder, short arm,
hipspica. yang perlu diperhatikan pada pemasangan gips :
a. Gips
yang tidak pas dapat menimbulkan perlukaan
b. Bila
sudah parah, gips tidak dapat digunakan lagi
c. Gips
tidak boleh longgar atau terlalu kecil
d. Perhatikan
integritas kulit selama pemasangan gips
4.
Penggunaan traksi
Metode lain yang baik untuk
mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur adalah dengan traksi.
Traksi dilakukan dengan menempelkan beban dengan tali pada ekstremitas biasanya
lebih disukai traksi rangka dengan pin baja steril yang dimasukan melalui
fragmen distal atau tulang yang lebih distal melalui pembedahan, bukan dengan
traksi kulit, bentuk-bentuk traksi biasanya akan membuat ekstremitas yang patah
terangkat lebih tinggi sehingga dapat mengurangi pembengkakan dan menigkatkan
peyembuhan jaringan lunak.
Sewaktu memasang atau mempertahankan
traksi ada beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan :
a. Tali
utama. Dipasang paha kiri rangka sebaiknya menimbulakan gaya tarik yang segaris
dengan sumbu panjang normal tulang panjang yang patah.
b. Berat
ekstremitas maupun alat-alat penyokong sebaiknya seimbangan dengan pemberat
untuk menjamin agar reduksi dapat dipertahankan secara stabil dan mendukung
ekstremitas yang patah.
c. Ada
tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus dan terlindung dengan
baik.
d. Traksi
dapat bergerak bebas melalui katrol.
e. Pemberat
harus cukup tinggi di atas permukaan lantai dengan klien dengan posisi normal
di atas tempat tidur sehingga perubahan posisi rutin tidak menyebabkan pemberat
terletak di lantai sehingga kehilangan regangan tali.
f. Traksi
yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
1) Keuntungan
memakai traksi
Dapat membantu menurunkan nyeri spasme,
kemudian dapat mengorekis dan mencegah deformitas, dan yang terakhir dapat
mengimmobilisasi sendi yang sakit.
2) Kerugian
menggunakan traksi
Perawatan rumah sakit lebih lama,
mobilisasi menjadi sangat terbatas, harus perlu penggunaan alat-alat yang
banyak, dan Indikasi penggunaan traksi.
3) Tujuan
traksi
Traksi digunakan untuk meminimalkan
spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur, untuk
mengurangi deformitas, untuk menambah ruang diantara dua permukaan patahan
tulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar