***************************************

Kamis, 23 Agustus 2012

Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000).
       Menurut Hidayat (2005) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau patah tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung misalnya benturan pada lengan bawah yang dapat menyebabkan patah tulang. Sedangkan pada trauma tidak langsung misalnya jatuh pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah. Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya.
       Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan disekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2002).
A.    Etiologi
       Penyebab fraktur menurut Suratun,dkk (2008) meliputi pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan pintir mendadak, kontraksi otot ekstrem. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari pada yang diabsorbsinya. Fraktur pada tulang dapat yang menyebabkan edema jaringan lemak, persarafan ke otot dan sendi terganggu, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. Disamping itu proses penuaan pun bisa mengakibatkan osteoporosis hingga menyebabkan fraktur.
B.     Anatomi Fisiologi
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu pula dengan rangka tubuh. Kekuatan tulang berasal dari dua sumber yaitu bagian luar yang padat (korteks) yang beratnya 80% dari massa  tulang dan bagian dalam yang halus seperti spons yang disebut trabekular (20% dari massa tulang) dan jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang (osteosit) yang terdiri dari osteoklas (penghancur) dan osteoblast (pembentuk) (Gomez, 2006 & Roesma, 2006).
Siklus resorbsi dan pembentukan tulang terjadi sepanjang hidup, pada masa kanak-kanak pembentukan tulang lebih banyak daripada daripada proses resorbsi tulang, namun keadaan ini menurun secara bertahap selama masa dewasa muda dan pada usia 25-35 tahun kedua proses ini berada dalam keseimbangan sampai akhirnya proses resorbsi lebih banyak daripada pembentukan tulang yang  biasanya dimulai pada usia 35 tahun sehingga secara bertahap jaringan tulang akan menghilang bersamaan dengan kandungan mineralnya (kalsium) terutama  pada bagian trabekular (Gomez, 2006).
1.1 Perbedaan tulang dan tulang yang sudah mengalami pengeroposan.
Pada wanita menopause tingkat estrogen turun sehingga siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang dimulai karena salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal, sehingga ketika estrogen turun, tingkat resorbsi tulang menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Lane, 2001). Osteoporosis inilah yang seringkali mengakibatkan fraktur pada lansia.
osteo3_5
1.2  Contoh fraktur yang diakibatkan oleh osteoporosis
C.    Patofisiologi
       Patofisiologi fraktur menurut Price & Wilson. (2005). fraktur dimulai dengan adanya daya atau tekanan pada tulang menyebabkan terjadinya fraktur. Adanya fraktur dapat merusak jaringan lunak, pembuluh darah, serabut saraf dan sum-sum tulang, periotium dan kortek tulang. Pada kerusakkan jaringan lunak dapat terjadi luka, menyebabkan port de entry yang akan terjadi infeksi dan non infeksi, pada infeksi bisa terjadi delayed union dan malunion, pada non infeksi terjadi union. Pada kerusakkan pembuluh darah dapat terjadi perdarahan dan akan mengakibatkan hematoma dan hipovolemik.
       Tempat yang mengalami hematoma terjadi vasodilatasi eksudasi plasma migrasi leukosit yang akan menyebabkan inflamasi, bengkak, terjadi penekanan saraf dan timbul nyeri. Pada hipovolemik dapat terjadi hipotensi akan menyebabkan suplay darah ke otak menurun, kesadaran menurun dan dapat terjadi syok hipovolemik. Pada kerusakan serabut saraf dan sum-sum tulang dapat menyebabkan hilangnya sensasi dan terjadi anesthesia, dapat juga merusak reseptor nyeri dan terjadi nyeri. Pada kerusakkan periostium dan kortek tulang dapat terjadi deformitas, krepitasi dan pemendekan ekstremitas.
A.    Jenis-Jenis Fraktur
Jenis-jenis fraktur menurut Mansjoer, (2002)
1.      Menurut jumlah garis fraktur
a.       Simpel fraktur: hanya terdapat satu garis fraktur
b.      Multipel fraktur: terdapat lebih dari satu garis
c.       Comminute fraetre: terjadi banyak garis fraktur atau banyak fragmen kecil yang terlepas.
2.      Menurut garis fraktur
a.       Fraktur inkomplit: tulang terpotong tidak secara total
b.      Fraktur komplit: tulang terpotong secara total
c.       Hait line fraktur: garis fraktur hampit tak Nampak sehingga bentuk tulang tak ada perubahan.
3.      Menurut bentuk fragmen
a.       Fraktur tranfersal: bentuk fragmen melintang
b.      Fraktur oblik: bentuk fragmen miring
c.       Fraktur spiral: bentuk fragmen melintang
4.      Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar
a.       Fraktur terbuka
Fraktur terbuka terbagi menjadi 3 tingkat
1)      Pecahan tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit, kontaminasi kurang, luka <1 cm.
2)      Kerusakan jaringan sedang, resiko infeksi lebih besar, luka <1 cm
3)      Luka besar sampai lebih kurang 8 cm kehancuran otot kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar missal luka tembak.
b.      Fraktur tertutup
Fragmen tulang tidak terhubung dengan dunia luar.


B.     Tahap Proses Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan tulang terbagi menjadi beberapa tahap, dibawah ini akan dijelaskan beberapa tahap proses penyembuhan tulang menurut Reksoprodjo, (2002).
1.      Haematoma
       Dalam waktu 24 jam mulai pembekuan darah dan terjadi haematom disekitar fraktur. Setelah 34 jam suplai darah ke ujung fraktur meningkat, haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi granul.
2.      Proliferasi
       Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar fraktur, dimana sel-sel menjadi precursor dari osteoblas, osteogenesis ini berlangsung dengan fase granulasi membentuk collar du ujung fraktur.
3.      Pembentukan kalus
       6-10 hari setelah fraktur jaringan granulasi berubah dan membentuk kalus. Sementara pembentukan cartilage dan matrik tulang diawali dari jaringan kalus yang lunak, kalus ini bertambah banyak, kalus sementara meluas, mengancam masa tulang dan cartilage sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan kalus sementara ini meluas melebihi garis fraktur.
4.      Ossifikasi
       Kalus yang menetap menjadikan tulang kaku karena adanya penumpukan garam-garam kalsium dan bersatu bersama ujung-ujung tulang. Proses osifikasi ini mulai dari kalus bagian luar kemudian bagian dalam dan terakhir bagian tengah, proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5.      Konsolidasi dan remodeling
       Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya kalus dibentuk dari aktifitas osteoblast dan osteoklast. Kelebihan-kelebihan tulang seperti dipahat. Proses pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dari otot.
C.    Tanda Dan Gejala
       Menurut Smelzet & Bare, (2002) tanda dan gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitasi.
1.      Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.      Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cendrung bergerak secara tidak alamiah bukannya tetap rigit seperti normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3.      Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1-2 inci).
4.      Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dimanakan krepitus yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan yang lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5.      Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
D.    Komplikasi
Komplikasi menurut Reksiprodjo, (2002)
1.      Komplikasi dini
Lokal:
Vaskuler:
a.      Compartement syndrome (Volkmann’s ischemia), yaitu suatu sindrom yang terjadi karena beberapa hal, bisa disebabkan oleh fraktur, dimana terjadi peningkatan tekanan intrakompartement sehingga terjadi iskemia jaringan. Peningkatan ini disebabkan oleh terisinya cairan kedalam kompartement dan tidak diikuti oleh pertambahan luas/ volume kompartement itu sendiri. Cairan tersebut berupa darah atau edema yang disebabkan oleh fraktur.
       Dengan meningkatnya tekanan intrakompartement yang melampaui tekanan perfusi kapiler akan menyebabkan aliran darah yang seyogyanya mensuplai oksigen dan nutrisi kejaringan menjadi tidak adekuat. Hal ini akan memicu terjadinya iskemia jaringan, yang menyebabkan edema sehingga tekanan intrakompartement tersebut akan semakin meningkat. Bila hal ini tidak segera diatasi akan menimbulkan kematian jaringan dan nekrosis, yang pada akhirnya dapat mengancam jiwa.
b.      Cidera vaskuler, merupakan konsekuensi berbahaya dari fraktur yang dapat mengancam jaringan dan nyawa. Pembuluh darah dapat mengalami cedera dimana saja, namun ada tempat-tempat tertentu yang sangat rentan terhadap cedera vascular.
       Di ekstremitas atas, bagian aksila, lengan atas anteriol dan medial serta fossa antecubital adalah daerah yang beresiko tinggi, sedangkan di ekstremitas bawah, daerah inguinal, paha medial dan fossa poplitea adalah daerah yang beresiko tinggi jika mengalami cedera vaskuler. Pada daerah-daerah tersebut, hanya terdapat satu arteri tunggal yang berjalan sepanjang daerah tertentu sebelum bercabang (fucation) didaerah yang lebih distal.
       Arteri tunggal ini nantinya akan bercabang menjadi dua di ekstremitas atas (brakialis bercabang menjadi radialis dan ulnaris setelah fossa cubiti) dan tiga diekstremitas bawah (femoralis akan bercabang menjadi tibia anterior, tibia posterior, dan fibular/ peroneal setelah fossa popliteal). Dengan demikian, apabila terjadi cedera vaskular pada arteri tunggal ini menyebabkan iskemia yang luas pada jaringan yang lebih distal.
       Hal ini akan berbeda jika cedera vaskular terjadi di daerah yang lebih distal setelah percabangan, dimana risiko iskemia jaringan tidak seluas yang ditimbulkan oleh cedera arteri tunggal. Menurut Braten Et Al (2004) mengemukakan bahwa penanganan cedera vaskular paling baik dalam jangka waktu 6 jam setelah terjadinya fraktur. Penanganan tersebut meliputi imobilisasi ekstremitas, penekanan (namun tidak menggunakan torniket), serta tindakan operatif. Setelah itu disarankan untuk dilakukan fasciotomi demi mencegah terjadinya sindroma kompartemen.
c.       Osteonekrosis (nekrosis avaskuler)
       Keadaan yang terjadi dimana tulang kehilangan suplai darah untuk waktu yang lama/ permanen. Tanpa suplai darah, jaringan tulang akan mati dan menjadi nekrotik. Osteonekrosis paling sering terjadi ditulang panggul, terutama pada dislokasi panggul posterior disertai fraktur kepala femur. Koval Et Al,(2003) mengemukakan bahwa sepuluh persen pasien dislokasi panggul anterior mengalami osteonekrosis.
d.      Cidera saraf perifer
       Komplikasi lain dari fraktur. Saraf yang rentan mengalami cedera adalah saraf yang letaknya di dekat tulang/ fascia. Berdasarkan struktur, fungsi, dan regenerasinya, cedera saraf dapat dibagi menjadi beberapa golongan:
1)    Neurapraxia, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf namun tidak disertai oleh kelainan struktur.
2)    Axonotmesis, yaitu kehilangan fungsi dari sel saraf dan disertai oleh cedera akson, namun struktur inti beserta selubung dan sel sachwan masih utuh. Pada cedera ini, regenerasi aksonal dapat mengembalikan fungsi yang hilang.
3)    Neurotmesis, yaitu cedera saraf yang lebih berat dari neurapraxia dan axonometsis. Pada neurotmesis, terjadi kehilangn fungsi disertai cedera aksonal, selubung myelin dan jaringan konektif sehingga penyembuhan menghasilkan jaringan parut yang menghambat regenerasi akson.
E.     Pemeriksaan Diagnostik
1.      Laboratorium
Hemoglobin, Hematokrit, Laju Endap daeah (LED)
2.      Radiologi
Pemeriksaan menggunakan X-Ray dapat dilihat gambaran.
a.       Melihat beratnya cedera lokasi
b.      Untuk melihat perkembangan tulang
3.      CT scan
a.       Prosedur yang digunakan untuk melihat gambaran otak dari berbagai sudut kecil tulang dan tengkorak
b.      Mendeteksi struktur fraktur tang kompleks
4.      Magnetic Resonance Imaging (MRI)
a.      Untuk melihat gambaran otak melalui informasi hydrogen proton dengan menggunakan ruang magnetic yang besar sehingga gambaran pembekuan darah, saraf, dan otak lebih jelas.
b.      Mengidentifikasi masalah pada otot, tendon, dan ligamnen.
F.     Penatalaksanaan
       Kesembuhan fraktur dapat dibantu oleh aliran darah yang baik dan stabilitas ujung patahan tulang, Reksoprodjo (2002).
1.      Reposisi
Setiap pergeseran atau angulasi pada ujung patahan harus direposisi dengan hati-hati melalui tindakan manipulasi yang biasanya dilakukan dengan anesthesia umum.
2.      Immobilisasi
Immobilisasi untuk kemungkinan kesembuhan fragmen yang dipersatukan.
3.      Fiksasi eksternal
4.      Fraktur diimobilisasi dengan badai atau gips dan traksi
G.    Penggunaan Gips Dan Traksi
1.      Penggunaan gips
       Secara umum, gips digunakan untuk mempertahankan reduksi, namun harus melewati sendi di atas dan di bawah fraktur. Gips sebaiknya tidak berlaminasi dan sesuai dengan geometri tulang yang diberi gips tersebut. Dengan membalut plester yang lunak di atas tonjolan tulang biasanya dapat mencegah timbulnya ulserasi tekanan dan dapat memaksimalkan kemampuan gips tersebut untuk mempertahankan posisi fragmen fraktur. Pemasangan gips seringkali dapat diselesaikan dalam jam sesudah terjadi cidera. Yaitu saat pembengkakan jaringan lunak belum maksimal. Selain itu proses reduksi juga dapat memperberat edema jaringan yang sudah ada.
       Namun karena gips dipasang berbentuk melingkar, mengelilingi seluruh ekstremitas, maka suplai darah ke syaraf ke ekstremitas yang cidera harus benar-bear diperhatikan. Ekstremitas harus diletakan lebih tinggi bagian distal ekstremitas yang mengalami cidera harus diperiksa berulang-ulang guna mengawasi perkembangan nyeri, kepucatan parestesi dan lenyapnya denyut nadi, semua ini adalah tanda-tanda dari disfungsi neurovaskuler.
       Semua keluhan penderita yang tetap dirasakan setelah reduksi harus benar-benar mendapat perhatian. Tekanan suplai darah dapat menimbulkan perubahan patologik yang tidak reversible bila dibiarkan selama satu setengah jam. Pada beberapa jam pertama setelah terjadi cidera, pemberian obat-obat narkotik secara berulan-ulang adalah suatu kontraindikasi. Hal ini dapat menghilangkan nyeri yang timbul dari nekrosis jaringan.
2.      Tujuan penggunaan gips adalah:
a.       Mengimmobilisasi, mensuport, melindungi selama proses penyembuhan tulang patah.
b.      Mencegah dan memperbaiki deformitas.
3.      Indikasi pemasangan gips
Macam-macam gips: short leg, long leg, sillinder, short arm, hipspica. yang perlu diperhatikan pada pemasangan gips :
a.    Gips yang tidak pas dapat menimbulkan perlukaan
b.    Bila sudah parah, gips tidak dapat digunakan lagi
c.    Gips tidak boleh longgar atau terlalu kecil
d.    Perhatikan integritas kulit selama pemasangan gips
4.      Penggunaan traksi
       Metode lain yang baik untuk mempertahankan reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur adalah dengan traksi. Traksi dilakukan dengan menempelkan beban dengan tali pada ekstremitas biasanya lebih disukai traksi rangka dengan pin baja steril yang dimasukan melalui fragmen distal atau tulang yang lebih distal melalui pembedahan, bukan dengan traksi kulit, bentuk-bentuk traksi biasanya akan membuat ekstremitas yang patah terangkat lebih tinggi sehingga dapat mengurangi pembengkakan dan menigkatkan peyembuhan jaringan lunak.
       Sewaktu memasang atau mempertahankan traksi ada beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan :
a.    Tali utama. Dipasang paha kiri rangka sebaiknya menimbulakan gaya tarik yang segaris dengan sumbu panjang normal tulang panjang yang patah.
b.    Berat ekstremitas maupun alat-alat penyokong sebaiknya seimbangan dengan pemberat untuk menjamin agar reduksi dapat dipertahankan secara stabil dan mendukung ekstremitas yang patah.
c.    Ada tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus dan terlindung dengan baik.
d.    Traksi dapat bergerak bebas melalui katrol.
e.    Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai dengan klien dengan posisi normal di atas tempat tidur sehingga perubahan posisi rutin tidak menyebabkan pemberat terletak di lantai sehingga kehilangan regangan tali.
f.     Traksi yang dipasang harus baik dan terasa nyaman.
1)      Keuntungan memakai traksi
       Dapat membantu menurunkan nyeri spasme, kemudian dapat mengorekis dan mencegah deformitas, dan yang terakhir dapat mengimmobilisasi sendi yang sakit.
2)      Kerugian menggunakan traksi
       Perawatan rumah sakit lebih lama, mobilisasi menjadi sangat terbatas, harus perlu penggunaan alat-alat yang banyak, dan Indikasi penggunaan traksi.
3)      Tujuan traksi
       Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur, untuk mengurangi deformitas, untuk menambah ruang diantara dua permukaan patahan tulang.